Mengapa Reformasi PBB Mendesak?
Sejak berdirinya pada tahun 1945, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menjadi organisasi internasional terbesar dengan mandat menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Namun, selama lebih dari tujuh dekade, struktur organisasi ini jarang mengalami perubahan mendasar. Realitas geopolitik sudah bergeser jauh, tetapi arsitektur PBB masih terjebak dalam logika Perang Dunia II.
Dewan Keamanan PBB (DK PBB) menjadi fokus utama kritik. Struktur DK yang terdiri dari lima anggota tetap dengan hak veto (AS, Rusia, Tiongkok, Prancis, Inggris) sering dianggap tidak demokratis. Banyak resolusi penting gagal diadopsi hanya karena satu negara menggunakan hak vetonya. Misalnya, dalam isu Suriah, Palestina, atau Ukraina, perpecahan antar anggota tetap membuat PBB lumpuh dalam mengambil tindakan.
Negara-negara berkembang yang kini memegang peranan penting dalam ekonomi global merasa tidak terwakili. India, dengan populasi lebih dari 1,4 miliar jiwa dan ekonomi terbesar kelima dunia, masih belum punya kursi tetap di DK. Demikian pula Afrika, dengan 54 negara anggotanya, tidak memiliki representasi permanen. Ketidakadilan inilah yang mendorong desakan kuat agar reformasi PBB dilakukan segera di tahun 2025.
Komposisi Dewan Keamanan: Kesenjangan Representasi
Salah satu isu paling hangat dalam Reformasi PBB 2025 adalah komposisi Dewan Keamanan. Saat ini, hanya Eropa dan Amerika Utara yang dominan dalam keanggotaan tetap. Asia hanya diwakili oleh Tiongkok, sementara Afrika dan Amerika Latin sama sekali tidak memiliki perwakilan.
India, Brasil, Afrika Selatan, Jepang, dan Jerman telah lama menjadi kandidat kuat untuk kursi tetap baru. Kelima negara ini membentuk kelompok lobi G4 Nations yang aktif mendorong reformasi. Mereka menilai kontribusi ekonomi, politik, dan militernya sudah layak mendapat posisi permanen.
Namun, resistensi datang dari negara anggota tetap yang enggan berbagi kekuasaan. AS, Rusia, dan Tiongkok memiliki kepentingan strategis untuk mempertahankan status quo. Di sisi lain, negara-negara tetangga calon kandidat juga tidak selalu mendukung. Misalnya, Pakistan menolak keras ambisi India, sementara Argentina keberatan dengan peluang Brasil.
Situasi ini mencerminkan betapa rumitnya mencapai konsensus global. Reformasi PBB memang menjadi kebutuhan, tetapi realisasi teknisnya terhambat oleh tarik ulur kepentingan politik internasional.
Hak Veto: Instrumen Kekuatan atau Sumber Kemandekan?
Hak veto menjadi isu paling kontroversial dalam reformasi. Sejak 1945, lima anggota tetap memiliki hak untuk menggagalkan resolusi meski mayoritas mendukung. Hak ini pada awalnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas pasca Perang Dunia II, tetapi kini justru menjadi alat politik kekuatan besar.
Contoh nyata adalah konflik Suriah, di mana Rusia dan Tiongkok berulang kali memveto resolusi yang menuntut sanksi terhadap rezim Assad. Di sisi lain, Amerika Serikat sering memveto resolusi yang mengkritik Israel terkait konflik Palestina. Akibatnya, PBB tampak tidak berdaya dalam menyelesaikan krisis global.
Negara berkembang mengusulkan pembatasan penggunaan veto, misalnya dengan melarang veto dalam isu kemanusiaan. Ada juga gagasan agar hak veto hanya sah jika didukung minimal dua anggota tetap, bukan hanya satu. Meski demikian, kecil kemungkinan proposal ini disetujui, karena berarti mengurangi keistimewaan yang sudah dimiliki anggota tetap.
Bagi Global South, reformasi hak veto adalah simbol perjuangan melawan dominasi segelintir negara. Tanpa pembaruan veto, reformasi PBB dianggap setengah hati.
Pendanaan dan Keadilan Global
Isu lain yang tak kalah penting adalah soal pendanaan. Saat ini, lebih dari 70% anggaran reguler PBB berasal dari negara maju. Amerika Serikat sendiri menyumbang hampir seperempat anggaran. Ketergantungan ini membuat PBB rentan terhadap tekanan politik donor besar.
Negara berkembang menginginkan sistem pendanaan yang lebih adil dan transparan. Mereka berpendapat bahwa kontribusi harus dihitung berdasarkan kemampuan ekonomi terkini, bukan sekadar status historis. Misalnya, Tiongkok yang kini menjadi ekonomi terbesar kedua dunia seharusnya meningkatkan kontribusinya, sementara negara miskin tidak boleh terbebani terlalu besar.
Selain itu, alokasi dana untuk pembangunan dan bantuan kemanusiaan juga dipersoalkan. Negara-negara Afrika menilai distribusi bantuan tidak merata, sementara kebutuhan mereka justru paling mendesak. Reformasi pendanaan diharapkan membuat PBB lebih responsif terhadap kebutuhan nyata di lapangan.
Peran Negara Berkembang: Dari Objek ke Subjek
Negara-negara berkembang, yang tergabung dalam kelompok G77 + China, kini semakin vokal dalam mendorong reformasi. Mereka tidak lagi ingin menjadi sekadar objek kebijakan global, tetapi subjek yang aktif menentukan arah dunia.
Indonesia, misalnya, mengambil peran penting dalam diplomasi reformasi PBB. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dengan populasi lebih dari 270 juta, Indonesia memiliki legitimasi kuat untuk berbicara tentang representasi Global South. Brasil, India, dan Afrika Selatan juga menjadi motor utama dalam kelompok BRICS yang menantang dominasi Barat.
Di tahun 2025, suara negara berkembang semakin terdengar berkat kekuatan ekonomi mereka yang terus tumbuh. Asia, Afrika, dan Amerika Latin kini menyumbang mayoritas populasi dunia dan semakin besar kontribusinya terhadap PDB global. Dengan fakta ini, sulit dibantah bahwa representasi mereka di PBB harus ditingkatkan.
Studi Kasus: India, Brasil, dan Afrika Selatan
-
India
India telah lama mengklaim haknya atas kursi tetap di DK PBB. Dengan populasi terbesar dunia, kekuatan militer signifikan, dan ekonomi yang berkembang pesat, India merasa diabaikan oleh struktur lama. Reformasi PBB 2025 memberi India momentum baru untuk memperkuat lobi internasionalnya. -
Brasil
Sebagai negara terbesar di Amerika Latin, Brasil berambisi menjadi wakil permanen kawasan. Brasil menekankan kontribusinya terhadap misi perdamaian PBB dan kepemimpinan regional. Namun, oposisi dari negara tetangga seperti Argentina menjadi hambatan. -
Afrika Selatan
Afrika Selatan mewakili aspirasi benua Afrika yang lama terpinggirkan. Uni Afrika mendukung adanya setidaknya dua kursi tetap untuk Afrika. Afrika Selatan, Nigeria, dan Mesir menjadi kandidat utama.
Studi kasus ini menunjukkan betapa reformasi tidak hanya soal keadilan global, tetapi juga arena kompetisi antar negara berkembang sendiri.
Reformasi PBB dan Krisis Global
Tahun 2020–2025 dipenuhi berbagai krisis global: pandemi, perubahan iklim, dan konflik bersenjata di Ukraina, Gaza, serta Sudan. PBB sering dikritik karena lamban dan tidak efektif merespons.
Reformasi PBB diharapkan bisa memperbaiki koordinasi global. Dalam isu iklim, misalnya, negara berkembang ingin suara mereka lebih didengar karena justru mereka yang paling terdampak, meski bukan penyumbang utama emisi. Dalam isu kesehatan global, distribusi vaksin COVID-19 yang timpang menjadi pelajaran bahwa tata kelola harus lebih adil.
Jika reformasi berhasil, PBB bisa menjadi forum yang lebih responsif, bukan hanya panggung retorika. Namun, jika gagal, dunia bisa menyaksikan lahirnya forum alternatif seperti BRICS atau G20 yang mengisi kekosongan peran PBB.
Tantangan Besar dalam Reformasi PBB
Reformasi PBB 2025 menghadapi sejumlah hambatan besar:
-
Resistensi Anggota Tetap – Negara dengan hak veto tidak mau kehilangan keistimewaannya.
-
Fragmentasi Global South – Negara berkembang sulit menyatukan suara karena kepentingan nasional berbeda.
-
Kompleksitas Hukum Internasional – Perubahan Piagam PBB membutuhkan persetujuan dua pertiga anggota, termasuk semua anggota tetap DK.
-
Rivalitas Geopolitik – Persaingan AS–Tiongkok–Rusia membuat kompromi semakin sulit dicapai.
Dengan hambatan sebesar ini, banyak pengamat menilai reformasi PBB hanya akan menghasilkan perubahan parsial, bukan transformasi menyeluruh.
Kesimpulan
Reformasi PBB 2025 adalah momentum penting bagi negara berkembang untuk memperjuangkan representasi yang lebih adil dalam tata kelola global. Perdebatan tentang komposisi Dewan Keamanan, hak veto, dan sistem pendanaan mencerminkan tuntutan agar PBB lebih demokratis.
Negara-negara berkembang seperti India, Brasil, Afrika Selatan, dan Indonesia kini memiliki posisi tawar yang semakin kuat. Meski tantangan besar masih ada, terutama resistensi anggota tetap, tekanan global membuat reformasi sulit dihindari.
Jika berhasil, PBB bisa menjadi organisasi yang lebih relevan di abad ke-21. Jika gagal, dunia mungkin akan mencari forum alternatif untuk mengelola krisis global. Bagi negara berkembang, inilah saatnya berubah dari sekadar penonton menjadi pemain utama di panggung dunia.
Referensi:
Recent Comments