◆ Kronologi Bentrokan UNISBA–UNPAS di Bandung
Peristiwa bentrokan di sekitar kampus Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan Universitas Pasundan (UNPAS) pada malam 1–2 September 2025 menjadi salah satu titik panas dalam rangkaian protes nasional. Malam itu, suasana Bandung yang biasanya penuh aktivitas mahasiswa mendadak berubah menjadi ajang pertempuran gas air mata, teriakan, dan kejar-kejaran antara aparat kepolisian dengan ribuan mahasiswa.
Awalnya, aksi mahasiswa di Bandung dimulai dengan damai. Sejak sore, ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Bandung berkumpul di kawasan Tamansari untuk menyuarakan aspirasi mereka terkait krisis biaya hidup, kenaikan pajak, serta pemecatan tokoh publik yang mereka anggap kredibel. Mahasiswa UNISBA dan UNPAS menjadi bagian paling vokal dalam aksi ini, dengan membawa poster, membacakan puisi perlawanan, dan menyanyikan yel-yel perjuangan.
Namun, sekitar pukul 20.00, situasi berubah drastis. Aparat kepolisian menilai aksi tersebut melanggar ketertiban karena sudah melewati batas waktu izin. Upaya pembubaran paksa dilakukan. Mahasiswa yang menolak membubarkan diri kemudian bertahan di sekitar kampus UNISBA dan UNPAS. Ketegangan meningkat ketika aparat mulai menembakkan gas air mata ke arah kerumunan.
Asap putih mengepul di jalanan Tamansari, membuat mahasiswa berhamburan mencari perlindungan. Beberapa mahasiswa jatuh pingsan karena sesak napas, sementara yang lain mencoba menolong dengan membagikan masker basah dan air mineral. Suasana kacau balau terjadi di depan gerbang kampus.
Bentrokan berlanjut hingga tengah malam. Polisi menurunkan kendaraan taktis, sementara mahasiswa melemparkan botol air mineral dan meneriakkan slogan perlawanan. Laporan media menyebutkan bahwa puluhan mahasiswa ditangkap malam itu.
◆ Dampak Fisik dan Psikologis Bagi Mahasiswa
Bentrokan tersebut meninggalkan luka fisik dan psikologis bagi banyak mahasiswa. Puluhan orang mengalami luka ringan akibat terpeleset, terkena lemparan, atau terpapar gas air mata dalam dosis tinggi. Beberapa mahasiswa harus mendapat perawatan di rumah sakit setempat karena sesak napas.
Lebih dari sekadar luka fisik, pengalaman malam itu meninggalkan trauma mendalam. Banyak mahasiswa mengaku masih ketakutan ketika mendengar suara keras, karena teringat suara letupan gas air mata. Ada yang mengaku tidak bisa tidur selama beberapa malam, membayangkan kembali momen saat mereka dikejar aparat.
Dari sisi akademis, kegiatan belajar di UNISBA dan UNPAS terganggu. Beberapa kelas harus diliburkan karena kondisi kampus yang rusak akibat bentrokan. Dinding penuh coretan protes, kaca pecah, dan bau gas air mata masih terasa bahkan setelah beberapa hari. Mahasiswa yang ditahan juga kehilangan waktu belajar, sementara keluarga mereka cemas menunggu kabar.
Bagi masyarakat sekitar kampus, bentrokan itu juga berdampak besar. Warga yang tinggal di Tamansari mengeluh karena asap gas air mata masuk ke rumah. Anak-anak dan lansia terpaksa mengungsi sementara ke rumah kerabat. Pedagang kecil di sekitar kampus pun merugi karena harus menutup lapak lebih awal.
◆ Respon Pemerintah dan Aparat
Pemerintah kota Bandung dan aparat kepolisian membela tindakan pembubaran aksi dengan alasan menjaga ketertiban umum. Menurut mereka, aksi mahasiswa telah melewati batas waktu izin dan berpotensi mengganggu keamanan kota. Aparat berdalih penggunaan gas air mata adalah prosedur standar untuk membubarkan massa.
Namun, pernyataan ini memicu kontroversi. Banyak pihak menilai aparat bertindak berlebihan. Penggunaan gas air mata di area kampus dianggap melanggar prinsip perlindungan institusi pendidikan sebagai ruang aman bagi mahasiswa. Bahkan, ada yang menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Pemerintah pusat juga ikut angkat bicara. Kementerian Pendidikan menyatakan keprihatinan atas peristiwa itu dan meminta investigasi independen. Namun, pernyataan ini dianggap tidak cukup oleh banyak mahasiswa, yang menuntut adanya jaminan perlindungan nyata bagi hak akademik mereka.
Ketua umum PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia) yang kebetulan alumni UNISBA, ikut memberikan komentar. Menurutnya, kampus seharusnya dilindungi, bukan diserang dengan gas air mata. Komentar dari tokoh publik ini makin memperkuat tekanan terhadap pemerintah untuk bertindak lebih bijak.
◆ Perspektif Mahasiswa dan Solidaritas Antar Kampus
Bagi mahasiswa, bentrokan malam itu adalah bukti nyata bahwa perjuangan mereka tidak mudah. Banyak yang menilai pemerintah sudah tidak lagi mendengarkan suara generasi muda. “Kami hanya ingin menyuarakan keresahan rakyat, tapi kami malah ditembak gas air mata,” kata salah seorang mahasiswa UNPAS.
Solidaritas antar kampus langsung menguat setelah peristiwa ini. Mahasiswa dari ITB, UNPAD, UPI, hingga kampus-kampus swasta ikut menyatakan dukungan. Media sosial penuh dengan tagar #BandungMelawan dan #SaveMahasiswa. Foto-foto mahasiswa yang terkena gas air mata menyebar luas, memicu simpati masyarakat.
Selain itu, beberapa dosen UNISBA dan UNPAS juga ikut bersuara. Mereka menilai tindakan represif aparat justru kontraproduktif. “Kampus seharusnya jadi ruang dialog, bukan medan tempur,” ujar salah seorang dosen UNISBA. Dukungan moral ini penting untuk memulihkan semangat mahasiswa yang sempat goyah setelah bentrokan.
◆ Implikasi terhadap Kebebasan Akademik
Peristiwa bentrokan UNISBA–UNPAS menimbulkan diskusi lebih luas soal kebebasan akademik di Indonesia. Banyak yang khawatir bahwa tindakan aparat malam itu adalah preseden buruk: kampus tidak lagi dianggap sebagai ruang netral, melainkan bisa dimasuki aparat kapan saja.
Kebebasan akademik bukan sekadar soal belajar di kelas. Ia mencakup hak mahasiswa dan dosen untuk menyuarakan pendapat, melakukan riset, dan berdiskusi tanpa takut intimidasi. Jika kampus tidak lagi aman, maka masa depan pendidikan kritis di Indonesia bisa terancam.
Organisasi mahasiswa nasional bahkan mengeluarkan pernyataan resmi bahwa mereka tidak akan diam. Mereka berjanji terus mengawal isu ini, menuntut adanya regulasi tegas agar aparat tidak bisa sembarangan masuk kampus dengan kekerasan.
Isu ini juga menjadi perhatian internasional. Beberapa media asing melaporkan peristiwa bentrokan, menyoroti bagaimana Indonesia yang dikenal sebagai negara demokrasi masih menghadapi masalah kebebasan akademik. Tekanan global bisa jadi faktor tambahan agar pemerintah lebih serius menangani kasus ini.
◆ Media Sosial dan Narasi Publik
Peran media sosial sangat besar dalam memperluas dampak peristiwa ini. Tagar #BentrokanUNISBAUNPAS sempat trending nasional. Video mahasiswa berlarian dikejar gas air mata viral di Instagram dan TikTok. Banyak konten kreator membuat analisis singkat, membandingkan situasi di Indonesia dengan negara lain.
Narasi publik yang terbentuk cukup jelas: mahasiswa dipandang sebagai korban, sementara aparat dinilai represif. Walaupun ada beberapa pihak yang menuduh mahasiswa “terlalu anarkis,” mayoritas netizen mendukung perjuangan mahasiswa.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana opini publik kini banyak ditentukan oleh media sosial. Dalam waktu singkat, ribuan orang bisa tahu kejadian di Bandung, meski mereka berada di kota lain. Bahkan, ada aksi solidaritas spontan di Jakarta dan Yogyakarta setelah melihat kabar viral tersebut.
◆ Reaksi Masyarakat Sipil dan Akademisi
Bentrokan UNISBA–UNPAS juga memicu reaksi keras dari masyarakat sipil. LSM yang bergerak di bidang hak asasi manusia menilai peristiwa ini sebagai pelanggaran serius. Mereka menuntut investigasi independen, termasuk kemungkinan adanya pelanggaran prosedur oleh aparat.
Akademisi dari berbagai universitas juga angkat bicara. Mereka menulis opini di media massa, mengingatkan pemerintah bahwa sejarah Indonesia penuh dengan catatan kelam represi terhadap mahasiswa. Dari Tragedi 1998 hingga peristiwa 2019, mahasiswa selalu jadi ujung tombak kritik, tapi juga kerap jadi korban.
Beberapa tokoh publik juga menyuarakan keprihatinan. Mereka menekankan pentingnya menjaga ruang demokrasi. Menurut mereka, bentrokan di Bandung harus jadi alarm bahwa demokrasi Indonesia masih rapuh.
◆ Jalan ke Depan: Dialog atau Represi?
Pertanyaan besar setelah bentrokan UNISBA–UNPAS adalah: apa langkah selanjutnya? Apakah pemerintah akan memilih jalan dialog, atau tetap mempertahankan pendekatan represif?
Jika pemerintah memilih dialog, maka harus ada forum terbuka di mana mahasiswa bisa menyampaikan aspirasi tanpa takut ditangkap. Kampus bisa menjadi mediator antara mahasiswa dan pemerintah. Dengan begitu, ketegangan bisa diredam.
Namun, jika pemerintah tetap menggunakan pendekatan represif, bisa jadi protes akan semakin besar. Mahasiswa yang merasa ditindas akan makin berani turun ke jalan. Solidaritas antar kampus juga akan makin kuat. Situasi ini bisa mengarah pada eskalasi konflik nasional.
Bagi banyak orang, peristiwa Bandung adalah titik krusial. Ia akan menentukan arah hubungan antara mahasiswa, kampus, dan negara dalam beberapa tahun ke depan.
◆ Penutup: Retaknya Jembatan Akademisi dan Demokrasi
Bentrokan UNISBA–UNPAS Bandung adalah lebih dari sekadar kericuhan di malam hari. Ia adalah cermin retaknya hubungan antara generasi muda akademisi dengan negara. Mahasiswa yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban gas air mata.
Jika tidak ada langkah serius untuk memperbaiki situasi, maka kepercayaan generasi muda terhadap pemerintah bisa runtuh. Indonesia berisiko kehilangan potensi emas dari generasi yang seharusnya jadi pemimpin masa depan.
Peristiwa ini mengingatkan kita semua bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu, tapi juga soal bagaimana negara memperlakukan suara kritis. Apakah negara mau mendengar, atau hanya membungkam dengan kekerasan?
Recent Comments